Posted on April 13, 2012
Handi Irawan D.
Chairman Frontier Consulting Group
Bahwa kepuasan pelanggan akan memberikan kontribusi positif terhadap kinerja keuangan dari perusahaan adalah hal yang diyakini keberannya. Terutama apabila kepuasan ternyata berhasil menciptakan pelanggan yang mau membayar dengan harga premium. Perusahaan akan mendapatkan keuntungan kalau memiliki pelanggan yang tidak sensitif dengan harga yang masih menjadi pertanyaan besar bagi pelaku bisnis adalah bagaimana hubungan antara kepuasan dengan laba perusahaan? Apakan kedua faktor ini memiliki hubungan yang linear ataukan memiliki hubungan dalam bentuk kurva yang lain?
Selama 5 tahun terakhir ini, pertanyaan ini menjadi fokus dari banyak pakar dalam bidang kepuasan pelanggan. Dalam jurnal pemasaran paling top di dunia, yaitu Journal of Marketing, pada 2 edisi terbitan tahun 2005, berturut-turut mempublikasikan 2 buah studi mengenai hal ini.
Homburg, Koscahte & Hoyer (2005) membuat dua postulasi bahwa hubungan antara kepuasan pelanggan dan kesediaan pelanggan untuk membayar lebih adalah seperti huruf S atau S-terbalik. Hasilnya, ternyata lebih mendekati kurva S terbalik. Artinya, kurva di awal adalah konkaf, kemudian flat dan kemudian konvek. Dalam bahasa sederhana, dapat diterjemahkan bahwa bila tingkat kepuasan mulai meningkat dari titik dimana kepuasan masih rendah, maka kenaikan laba akan cukup cepat.
Kemudian, bila sudah memasuki tingkat kepuasan yang moderat, maka setiap kenaikan kepuasan pelanggan, tidak memberikan pengaruh yang signifikan. Kemudian, pada tingkat yang cukup tinggi, yaitu pada saat kepuasan sudah mencapai di atas 75%, maka kenaikan kepuasan pelanggan akan membuat kenaikan laba yang cepat lagi.
Bila studi ini benar, pelaku bisnis haruslah jeli dalam menentukan strategi kepuasannya. Pada saat kepuasan pelanggan sudah mencapai moderat, resiko yang dihadapi akan besar. Menambah tingkat kepuasan sedikit, tidak banyak berpengaruh terhadap laba. Diperlukan lompatan kepuasan yang besar untuk mencapai kenaikan revenue dan laba yang besar. Tentunya, kenaikan kepuasan yang besar ini, haruslah didukung oleh investasi yang besar pula.
Hasil survei dari ICSI yang sudah terkumpul selama 7 tahun ini, telah memberikan gambaran yang mungkin bisa mirip dengan studi yang ada di Amerika ini. Memang, sangat disayangkan, banyak merek-merek yang disurvei dalam ICSI ini adalah perusahaan yang belum terbuka dan kalaupun sudah masuk di lantai bursa, tetapi tidak memberikan penjelasan rinci mengenai laba per merek.
Tetapi bila merek produk sama dengan nama perusahaannya, hal ini bisa memberikan gambaran kasar akan kebenaran hubungan kurva S-terbalik ini. Dalam industri selular misalnya, Telkomsel memiliki tingkat laba yang lebih baik dari pesaingnya. Dalam dua tahun terakhir ini, tingkat kepuasan terhadap Telkomsel, terutama untuk pelanggan pasca bayar dan Simpati, menunjukkan sedikit kenaikan. Tingkat kenaikan yang kecil ini, ternyata diimbangi dengan kenaikan laba yang sangat signifikan.
Hal kedua yang kemudian menjadi pertanyaan mengenai hubungan antara kepuasan pelanggan dan profitabilitas adalah mengenai waktu. Kita tahu bahwa kenaikan kepuasan tidak serta merta membuat kinerja keuangan dari merek tersebut langsung membaik. Ada lag time antara kenaikan kepuasan dengan kenaikan laba yang akan diperoleh. Lag time ini, bisa antara 6 bulan hingga 10 tahun lagi, tergantung dari frekwensi pembelian pelanggan dari industri tersebut.
Pelanggan yang puas dengan suatu merek biskuit, akan cepat memberikan dampak positif kepada kinerja keuangannya. Mungkin hitungannya adalah beberapa bulan. Pelanggan yang puas dengan mobil yang dibelinya, maka dampak untuk kinerja keuangan perusahaan otomotif bisa mencapai 2 hingga 4 tahun. Untuk produk properti, hal ini bisa lebih panjang lagi. Itulah sebabnya, dibutuhkan pimpinan puncak yang dapat melihat perspektif jangka panjang bila ingin memformulasikan strategi kepuasan pelanggan.
Hal ketiga yang masih dipersoalkan dari hubungan antara kepuasan pelanggan dengan profitabilitas adalah besarnya sendiri. Kalau kita menaikkan tingkat kepuasan sebesar 1%, berapa dampak yang ditimbulkan terhadap loyalitas dan berapa persen dalam bentuk profit.
Gruca dan Rego, dalam artikel yang baru saja dipublikasi pada bulan Juli 2005, menunjukkan suatu model untuk menghitung kuantitatif hubungan dua variabel ini. Menggunakan data American Customer Satisfaction Index salama 8 tahun terakhir, peneliti menyatakan bahwa setiap kenaikan 1 persen tingkat kepuasan maka setiap asset yang bernilai US $ 1000, akan terdapat penambahan profit sebesar $ 1.01 di tahun berikutnya. Jadi, bila terdapat kenaikan sebesar 10%, maka akan terdapat kenaikan profit sebesar $ 10.0 di tahun berikutnya untuk setiap asset senilai $ 1000.
Bila diasumsikan bahwa besarnya ekuitas adalah sekitar 50% dari nilai asset, maka dapat diestimasikan bahwa setiap kenaikan 10% dalam kepuasan pelanggan, perusahaan akan memperoleh tambahan profit sebesar 2%. Ini jelas sangat signifikan sekali bila melihat rata-rata profit untuk consumer goods di Indonesia adalah sekitar 6 hingga 12%. Jadi, terdapat kira-kira kenaikan sebesar 20% hingga 30% bila kepuasan naik sebesar 10% untuk industri ini.
Bagaimanakah di Indonesia? Inilah tantangan para pelaku bisnis untuk melakukan pengukuran terhadap ketiga hal ini. Bagaimanakah bentuk kurva hubungannya? Berapa lag time yang terjadi? Berapa kenaikan profit untuk setiap kenaikan 1% kepuasan pelanggan? Pimpinan puncak yang sanggup memberikan jawaban terhadap hal ini, paling tidak, pastilah beberapa langkah lebih maju dari pesaingnya. Mereka akan tahu persis, berapa besar biaya yang harus diinvestasikan untuk meningkatkan kepuasan pelanggan guna menghasilkan tingkat return yang paling optimal.
Mudah-mudahan, data ICSI yang sudah tersaji selama 7 kali berturut-turut ini, menjadi informasi yang berguna bagi pelaku bisnis yang belum puas sebelum memperoleh jawaban ini. ICSI hadir juga memang bertujuan untuk memuaskan dahaga pelaku bisnis terhadap informasi seputar kepuasan pelanggan.