SATISFACTION BENCHMARKING

Handi Irawan D.
Managing Director
Frontier Marketing & Research Consultant

Perusahaan yang merencanakan untuk melakukan survei kepuasan pelanggan, akan selalu berhadapan dengan dua pilihan. Pertama, apakah melakukan survei kepuasan untuk pelanggannya sendiri ataukah alternatif kedua yaitu suatu survei yang juga mencakup pelanggan pesaing. Pilihan yang kedua ini biasanya disebut dengan market-standing survey.

Dalam situasi dimana biaya survei terbatas, perusahaan akan cepat memutuskan untuk memilih survei untuk pelanggannya sendiri saja. Walaupun demikian, budget juga bukan satu-satunya pertimbangan dalam membuat keputusan ini sendiri. Beberapa perusahaan memilih pilihan pertama ini karena mempunyai asumsi bahwa pelanggan pesaing tidaklah penting. Tujuan perusahaan hanyalah untuk bertumbuh bersama dengan pelanggan yang sudah ada. Ada juga perusahaan yang keputusannya didasarkan atas kepercayaan bahwa mereka tahu benar mengenai pesaing ; apa yang menjadi kekuatan dan kelemahan pesaing. Oleh karena itu, survei yang melibatkan pelanggan pesaing tidaklah diperlukan.

Alasan lain dari perusahaan tidak melakukan market standing survey adalah kesulitan dalam mencari responden pesaing. Tak mengherankan, hotel-hotel berbintang lebih sering survei kepuasan pelanggannya sendiri karena relatif sulit mencari pelanggan pesaing sebagai responden.

Survei dengan pelanggan sendiri memang sudah memberikan banyak manfaat. Melalui survei seperti ini, perusahaan sudah dapat mengukur indeks kepuasan pelanggannya. Perusahaan juga sudah dapat mengidentifikasi sumber-sumber yang menjadi kepuasan atau ketidakpuasan pelanggan serta menentukan prioritas untuk peningkatan kepuasan pelanggan. Apabila dilakukan secara periodik, maka perusahaan juga memperoleh gambaran mengenai perubahan indeks kepuasan pelanggannya dari waktu ke waktu.

Dalam situasi persaingan yang ketat dimana pelanggan mudah untuk pindah dari satu merek ke merek lain, maka hasil survei seperti ini tidaklah lengkap. Perusahaan mungkin mendapatkan bahwa indeks kepuasan pelanggannya adalah sebesar 80 %. Suatu angka yang cukup tinggi. Tetapi hal ini tidaklah memberikan jaminan bahwa indeks ini cukup baik untuk membuat pelanggannya tidak pindah ke pesaing. Indeks ini juga tidak memberikan jaminan bahwa perusahaan cukup mudah untuk melakukan strategi ofensif yaitu penetrasi pasar dengan merebut pelanggan pesaing.

Setiap industri memiliki indeks kepuasannya sendiri-sendiri. Maklum, harapan pelanggan di setiap industri juga berbeda. Kemampuan perusahaan dalam suatu industri untuk memuaskan pelanggan juga berbeda dengan industri lain. Tidak mengherankan, indeks kepuasan untuk satu industri akan berbeda dengan industri lain.

Industri perbankan adalah contoh dimana tingkat kepuasannya lebih tinggi dibandingkan dengan industri internet misalnya. Persaingan perbankan sudah semakin ketat dari tahun ke tahun. Setiap bank di Indonesia sudah sangat sadar akan pentingnya kepuasan pelanggan. Bukan hanya bank-bank asing, tetapi bank-bank BUMN-pun seperti Mandiri, BNI dan BRI telah berlomba-lomba menciptakan program peningkatan kepuasan pelanggan. Terlebih lagi, pelanggan yang sudah tidak puas dengan bank tertentu, dengan mudah untuk pindah ke bank lain. Hasilnya, tingkat kepuasan pelanggan terhadap bank-bank di Indonesia relatif cukup tinggi bila diukur.

Hal ini beda dengan industri internet provider. Banyak perusahaan dalam bidang ini, masih sibuk dengan akuisisi. Industrinya masih dalam tahap pertumbuhan atau bahkan dalam fase infant. Para pemain masih belum memiliki teknologi yang standar. Tak mengherankan, tingkat kepuasan terhadap industri ini tidaklah tinggi. Kalau suatu perusahaan mampu memuaskan 50 % dari penggunanya, sudah dapat dikatakan baik. Terlebih lagi, pemakai internet adalah mereka yang mempunyai tingkat edukasi yang rata-rata tinggi. Hasil survei dari Frontier menunjukkan bahwa 55 % pemakai internet adalah sarjana. Mereka juga berusia relatif lebih muda. Tidak mengherankan bila mereka mempunyai harapan yang tinggi dan akhirnya sulit dipuaskan.

Karena itu, market standing survey sebenarnya merupakan pilihan yang ideal. Hasil survei ini memberikan kemampuan perusahaan untuk melakukan benchmarking. Perusahaan dengan rendah hati ingin mengetahui posisi mereka dibandingkan dengan pesaing, belajar dari kekuatan dan kelemahan pesaing serta akhirnya diikuti dengan pembuatan program dan strategi untuk mengungguli pesaing.

Dengan survei ini, ada dua tambahan informasi penting. Pertama, apakah indeks kepuasan pelanggannya relatif lebih tinggi atau lebih rendah dibandingkan dengan pesaing. Jadi, bukan indeks absolut yang penting tetapi indeks relatif yang lebih penting. Kedua, perusahaan juga semakin tajam dalam menentukan prioritas perbaikan untuk membuat para pelanggannya semakin puas.

Dalam industri asuransi, perusahaan yang melakukan survei akan menemukan fakta bahwa hal yang belum memuaskan pelanggannya adalah kecepatan proses klaim. Tanpa adanya data pesaing, perusahaan akan cepat-cepat membuat program untuk mempercepat proses klaim dari semula 30 menit menjadi 20 menit misalnya. Kenyataannya, pelanggan pesaing juga memiliki keluhan yang sama. Bahkan, rata-rata proses klaim dari pesaing adalah 1 jam, jauh lebih lama dari proses klaim yang dilakukan oleh perusahaan. Dengan tambahan informasi ini, maka perusahaan dapat lebih bijaksana dalam memformulasikan strategi dan program.

Harus diakui, hanya segelintir perusahaan di Indonesia yang melakukan market-standing survey. Sebagian tidak sadar akan manfaatnya dan sebagian terbentur dengan kendala biaya. Inilah salah satu yang memberikan dorongan kepada Frontier, bekerja sama dengan majalah SWA untuk melakukan survei kepuasan pelanggan nasional yang dikenal dengan nama Indonesian Customer Sataisfaction Index (ICSI) sejak tahun 1999. Merek-merek yang disurvei, dapat mengetahui posisi mereka relatif terhadap pesaing. Karena dilakukan setiap tahun dimana hasilnya dipublikasikan pada bulan September, maka perusahaan juga dapat melihat dinamika kepuasan pelanggannya dan pelanggan pesaing.