Strategi Kepuasan vs Strategi Loyalitas

Handi Irawan D.
Chairman Frontier Consulting Group

Apakah survei Indonesian Customer Satisfaction Index (ICSI) juga mengukur loyalitas? Ini adalah pertanyaan yang masih sering dilontarkan kepada saya. Memang, mungkin karena namanya yang hanya mencantumkan kepuasan, maka banyak yang kemudian melihat bahwa komponen loyalitas tidak termasuk dalam bagian pengukuran.

Indeks ICSI diperoleh dari 4 pengukuran parameter. Dua paramater pertama yaitu Quality Satisfaction Score (QSS) yang merupakan pengukuran terhadap tingkat kepuasan terhadap kualitas produk atau kualitas layanan dan Value Satisfaction Score (VSS) adalah pengukuran tingkat kepuasan pelanggan terhadap harga yang mereka bayar. Dua parameter utama ini jelas merupakan pengukuran yang ditujukan kepada kepuasan pelanggan.

Parameter ketiga adalah Perceived Best Score (PBS). Ini adalah pengukuran terhadap keyakinan dari konsumen bahwa merek yang mereka konsumsi atau gunakan adalah yang terbaik dalam hal kualitas pelayanan. Dimensi yang terkandung dalam pengukuran PBS ini adalah citra merek dan loyalitas dari merek tersebut relatif terhadap merek-merek lain. Jadi, terlihat bahwa terdapat unsur loyalitas dalam pengukuran ICSI ini. Parameter keempat adalah Expectation Score (ES) yang merupakan pengukuran terhadap keyakinan konsumen bahwa sebuah merek akan tetap memberikan kepuasan di masa mendatang. Dengan demikian, terdapatlah dimensi waktu dalam pengukuran ini yaitu kepuasan masa lalu dan keyakinan akan kepuasan di masa mendatang. Dua titik waktu inilah yang mencerminkan potensi terhadap loyalitas dari merek ini. Bila demikian, ES adalah paramater yang memasukkan unsur loyalitas dalam pengukuran dari suatu merek.

Kepuasan dan loyalitas adalah sungguh memiliki korelasi yang erat dan memiliki hubungan yang misterius. Dari logika maupun pengalaman kita pribadi sebagai konsumen, kita tahu, kepuasan menghasilkan loyalitas, tetapi tidak 100%. Dengan kata lain, tidak semua kepuasan menciptakan loyalitas. Di sisi lain, terdapat kebenaran juga bahwa walau konsumen tidak puas, tetap saja perusahaan dapat menciptakan loyalitas.

Inilah salah satu tantangan bagi para pimpinan puncak dan marketer. Kita harus mampu menciptakan sumber-sumber kepuasan yang menghasilkan loyalitas. Keramahan dalam pelayanan atau fitur tertentu yang berhubungan dengan kualitas produk, sangatlah mungkin menjadi komoditas dan tidak menghasilkan loyalitas. Bia demikian, maka kita perlu mencari sumber kepuasan pada titik yang lebih tinggi sehingga menghasilkan loyalitas.

Memuaskan pelanggan sehingga pelanggan benar-benar pada tingkat delighted, bisa jadi, terlalu mahal bagi perusahaan. Artinya, investasi dalam kepuasan pelanggan, tidak akan menghasilkan return yang memadai. Bila demikian, maka perusahaan haruslah mengkombinasikan strategi kepuasan pelanggan dan strategi loyalitas. Strategi loyalitas dalam hal ini, saya lebih cenderung membatasi setiap strategi yang menghasilkan loyalitas saja dan belum tentu memberikan kepuasan atau relatif tidak menaikkan tingkat kepuasan pelanggan secara nyata.

Memberikan informasi yang cepat dan akurat adalah suatu strategi kepuasan yang menghasilkan loyalitas dalam dunia perbankan. Nasabah prioritas misalnya, akan merasa sangat puas kepada bank yang memberikan informasi mengenai produk-produk investasi yang tepat bagi kebutuhan dia. Apabila sebuah bank kemudian menawarkan produk reksadana yang tidak dapat ditarik selama 3 tahun atau memberikan penalti bila kemudian dicairkan, maka inilah strategi loyalitas. Pelanggan atau nasabah masuk dalam suatu strategi "locking".

Dalam industri sepeda motor, maka kemudahan dan kecepatan dalam memperoleh kredit pembiayaan adalah strategi kepuasan pelanggan yang bisa menghasilkan loyalitas. Di sisi lain, besarnya waktu kredit dan bagaimana kontrak kredit diberlakukan agar membuat pelanggan tidak mudah pindah ke merek sepeda motor yang lain adalah murni sebagai strategi loyalitas.

Mudah-mudahan, kedua contoh sederhana ini memberikan gambaran terhadap perbedaan strategi kepuasan dan strategi loyalitas. Perusahaan perlu mencari kombinasi yang tepat dari kedua strategi ini sehingga menghasilkan tingkat profitabilitas yang optimal dalam jangka panjang. Dalam hal ini, ICSI dan ICSA memang lebih fokus untuk memberikan masukan kepada perusahaan bagaimana mengembangkan strategi kepuasan yang menghasilkan loyalitas dan bukan strategi loyalitas atau "locking strategy".

Saya sadar sepenuhnya, bahwa para marketer Indonesia memang sebagian besar tidak terlalu serius bila berhadapan dengan suatu konsep dan angka-angka. Tidaklah mengherankan, bahwa ICSI dan ICSA yang sudah berjalan selama 9 tahun, masih menyisakan pertanyaan-pertanyaan yang fundamental terutama dalam hal pengukurannya.

Walaupun demikian, saya sungguh gembira. ICSI dan ICSA sudah memberikan inspirasi yang sangat nyata. Dalam dunia akademis, ICSI menjadi topik yang menginspirasi banyak mahasiswa S1 dan S2 di seluruh Indonesia selama 9 tahun ini. Bahkan uraian mengenai ICSI dan metodologinya, sejak tahun 2007 ini, sudah masuk dalam pembahasan di sebuah buku bergengsi "Services Marketing : Asia Pacific and Australian Perspective" yg ditulis oleh Lovelock, guru besar Harvard Business School dan Paul Patterson, Head of Marketing School, University of New South Wales. Ini menunjukkan kontribusi nyata ICSI untuk memberikan inspirasi kepada negara-negara lain dalam melakukan pengukuran kepuasan pelanggan secara nasional. Indonesia adalah segelintir negara di dunia yang selalu melakukan pengukuran kepuasan nasional selama 9 tahun tiada henti.